Nukilan Bab I Novel Dzikir-dzikir Cinta
oleh Dzikir-dzikir Cinta pada 28 Juni 2011 jam 21:30
****
SENJA tampak sayu di balik lipatan kabut. Suasana kampung Kuning tampak remang dan lengang, meski matahari belum sepenehnya tenggelam di ufuk barat. Ia masih membiaskan warna-warna mempesona, sedemikian teduh memandikan jiwa yang dikerumini sunyi sepi. Ketakjuban hati memancar lewat palung jiwa di antara celah lanskap yang kian tirus, berurai sendu. Ceracau kicau burung yang hinggap di atas dahan nan landai meriuhkan suasana, semakin ceriakan lagu pagi yang dihantarkan mentari bagi semesta. Di kala senja itu, langit tampak mendung sembab, mengurai rona-rona jingga. Kabut hitam putih menyelimuti bebukitan yang membuhul di antara celah–celah ranting pepohonan. Gerimis turun berlarik–larik dari langit, seperti sekawanan anak panah yang dihujamkan ke dasar perut bumi. Dentumnya membentuk orkestrasi ritmik membelai jiwa yang di balut rindu. Wangi tanah yang berbaur dengan rembesan air hujan terasa hangat merasuki rongga hidung. Resap ke dalam jantung yang berdegup seirama detik jam di dinding. Kehadirannya pun menggelitiki rasa dingin di kalbu. Nuansa sejuk memandikan panorama di sepanjang mata menebar.
Dari lorong jauh terdengar sayup dan lirih suara orang-orang ngaji di surau-surau. Hening, bening seperti embun yang ingin menetes dari kuncup bunga. Suara itu begitu syahdu menusuk gendang-gendang telinga penduduk kampung sekitar. Damai. Sungguh betapa jiwa akan sangat betah untuk berlama-lama berdiam diri di dalam susana itu, walau hanya sekedar singgah.
Warna merah yang terpancar dari rona matahari kian memperteduh suasana. Elok bestari. Warna jingga yang memendar pada gemericik air, melimbah di hamparan danau, bak kristal tertempa cahaya. Berkilatan dan memukau dua bola mata yang akan terus takjub karenanya. Sungguh pukauan yang tak mungkin terlukis dengan tinta sebelanga. Subhanallah! Karunia-Mu sungguh sangat indah. Tinta selautan, bahkan jika tujuh lautan terkumpul manjadi satu, tak kan mampu menuliskannya. Keindahan yang termanifestasikan dari Sang Maha Sempurna. Sungguh, karunia yang Engkau titiskan pada keindahan, yang menyelubung pada ceruk bumi nan permai, membuat hidup bagai ruang-ruang mistis yang tak kan pernah mampu diungkap oleh keterbatasan akal atau nalar makhluk-Mu. Maha Besar Engkau dengan segala Kekuasaan-Mu. Tiada yang bisa menandingi-Mu.
Alam raya pun bertasbih pada-Mu, memuji segala keagungan-Mu. Burung-burung, kelelawar, atau kupu-kupu yang beterbangan di bawah laut biru bertasbih dengan nada merdu mensyukuri atas segala anugerah-Mu. Paruhnya yang tirus melafalkan madah-madah di setiap kepak sayapnya. Gemericik air yang meliuk di atas permukaan sungai menyenandungkan asma-asma-Mu, memantulkan bias cahaya kemuliaan-Mu, seolah menunjukkan pada semesta bahwa keberadaanya adalah bagian dari kuasa-Mu. Batu-batu yang ngeram di antara arus air menyungkur-sujudkan wajah pada hamparan bumi, menikmati arus lembut air yang mengalir menuju hamparan samudera. Bentang laut pun tak luput menegadahkan wajah menatapi tiap langit-langit-Mu yang megah seraya berdzikir sebagai bentuk penghambaan terhadap-Mu. Gunung. Lembah. Semuanya memanjatkan syukur pada-Mu. Mencoba mengabdi dan taat terhadap segala perintah dan menjauhi segala yang Kau larang. Duhai Rabb, keangkuhan seperti apa yang mampu melukai cinta kami pada-Mu, sehingga kelalaian ini memalingkan wajah dari hadapmu?
Anak-anak kecil yang sedari tadi bermain dengan ceria dalam dunia imaji mereka, serempak berhenti dan memenuhi seruan suci dari surau yang biasa mereka jadikan tempat menimba ilmu agama. Tetap dengan rona wajah ceria, mereka ingin menghabiskan sedikit sisa waktu bermain bersama rekan sebaya sebelum kembali ke rumah masing-masing. Sebelum berangkat ngaji, terlebih dahulu mereka membersihkan diri dari keringat dengan air yang mengalir dari gunung. Sumber mata air yang mengalir tenang, meski agak sedikit keruh karena bercampur lumpur dari pematang-pematang sawah sehabis digarap untuk ditanami padi, bagi mereka telah cukup untuk dijadikan mediasi bersuci dari kotoran. Bersama-sama mereka bercanda, memercikkan air pada wajah temannya yang masih tampak polos dan lugu. Sejenak mereka ingin lepaskan segala lelah, peluh dan penat sehabis bermain bersama arus air yang mengalir menuju samudera nun jauh. Dengan bertelanjang dada dan secara bergantian mereka berkidung di sepanjang jalan berkerikil, yang tanpa disadari kerikil tajam itu telah menyayat telapak kaki polos mereka walau tanpa ada luka. Seraya berlari-larian kecil mereka melafalkan nyanyian ‘Anak Desa’ menuju rumah masing-masing. Pakaian kotor telah dilucuti dan berganti baju koko baru warisan Hari Raya Idul Fitri beberapa bulan lewat. Mereka pun kembali berkumpul dengan teman sepermainan di sebuah mushola guna mengkaji jilid demi jilid iqra’ yang merupakan langkah awal bagi mereka dalam memahami huruf-huruf hijaiyyah. Dengan bergiliran mereka mengeja huruf-huruf tersebut di hadapan sang Ustadz. Ada yang sudah lancar, namun tak sedikit pula yang masih terbata-bata ketika mengeja. Belajar dan terus mengkaji merupakan metode bagi mereka lakukan agar tidak buta terhadap aksara arab—utamanya agar mereka mampu memahami, atau bahkan menafsirkan walau belum utuh. Ketika malam telah merayap dan berangsur larut, mereka menjeda atau mengakhiri ngaji sebelum benar-benar mengkhatamkannya, kemudian melanjutkannya esok hari. Demikian seterusnya sampai pada waktunya mereka beranak-pinak dan mewariskan tradisi luhur itu pada generasi berikutnya.
Seperti biasa, dan memang sudah menjadi adat kebiasaan bagi penduduk yang tinggal di kampung Kuning, saat sore menjelang, mereka berbondong-bondong, berduyun-duyun, tanpa dikomando, menuju mushala-mushala atau masjid-masjid, yang menurut hati kecil paling dikehendaki dan disukai. Sungguh nuansa semacam ini sangat menyenangkan hati. Menggugah jiwa yang ingin berpaling dari Sang Rupawan. Namun entah mengapa, kebanyakan dari mereka lebih memilih mushala atau langgar dari pada masjid. Bukan persoalan jarak, bukan pula karena konstruk bangunan, akan tetapi hal itu lebih pada kehendak hati tiap warga.
Di kampung Kuning, masjid hanya dijadikan sebagai tempat ibadah sentral; seperti salat jum’at atau pun salat pada dua Hari Raya. Sementara, untuk jamaah salat lima waktu, masyarakat lebih memilih untuk meramaikan mushala masing-masing. Apa yang terjadi sedikit pun tak menyurutkan kemeriahan para warga untuk meramaikan ‘rumah Allah’ yang dijaga, dimuliakan, dan disucikan. Kendati demikian, masjid juga sering dipergunakan sebagai tempat urug-rembug mengenai masalah-masalah desa, utamanya pada malam hari. Disamping itu, masjid juga digunakan atau difungsikan sebagai tempat memperingati ritus-ritus keagamaan seperti mauludan, malam 1 Suro (malam 1 Muharam), dan atau peringatan hari-hari besar islam lainnya.
Bagi penduduk kampung Kuning, mengaji merupakan kebutuhan pokok ruhani mereka setiap hari. Hal ini mereka jadikan sebagai usaha untuk menyeimbangkan antara urusan keduniawian dan amal akhirat. Biasanya, sehabis salat mereka akan selalu menyempatkan diri untuk membaca ayat-ayat suci meski hanya beberapa ruku’ atau ayat saja—bagi mereka yang telah khatam kitab iqro’. Namun bagi mereka yang telah fasih dalam melafalkan ayat-ayat suci, jika berkehendak, akan meluangkan waktu untuk sema’an guna lebih memperdalam pemahaman mereka terhadap keindahan, misteri luar biasa serta makna tersembunyi dari al-Qur’an yang merupakan firman Tuhan sebagai petunjuk serta pedoman hidup. Ada juga yang mencari kesejukan hati dengan berdzikir, menyebut asma-asma Allah, dalam hati atau pun secara pengucapan lisan.
Bagi mereka yang nyantri atau tinggal di dunia pesantren, mereka akan melanjutkan pelajaran mereka dengan mengaji bermacam-macam kitab kuning. Kegiatan ngaji kitab kuning biasanya dilakukan pada waktu maghrib menjelang Isya’—juga sehabis Subuh. Kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai penyeimbang antara pendidikan agama dan pendidikan umum dari sekolah-sekolah formal bagi penduduk kampung Kuning. Kalau dalam pendidikan formal (umum) mereka yang menuntut ilmu disebut dengan siswa, maka di dunia pesantren mereka disebut sebagai santri.
Inilah perbedaan yang bisa dilihat antara pendidikan formal dengan pendidikan pesantren. Jika dalam pendidikan sekolah cenderung menonjolkan muatan-muatan ilmu umum (amiyyah) maka di dalam pondok pesantren adalah sebaliknya yakni ilmu agama (diniyyah). Metode pengajarannya pun berbeda. Kalau di sekolah umum diajarkan berdasarkan pada kurikulum yang ditetapkan oleh lembaga atau instansi terkait. Namun tidak demikian halnya dengan di pesantren. Metode pengajaran di pesantren lebih menekankan, menitikberatkan, dan mengharuskan para santri untuk meng-khatam-kan kitab yang sedang dikaji, satu per satu, sehingga kajian yang dilakukan tidak melompat dari satu sumber ke sumber lainnya. Diawali dari kitab-kitab ringan beranjak ke kitab yang berat kajiannya. Biasanya metode panyampaian di pesantren adalah dengan cara sorogan dan bandongan.
Kebanyakan mereka—para santri—mengkaji banyak kitab-kitab kuning seperti Matan al-Jurumiyyah, Alfiyyah, al-Umm, Ta’lim al-Muta’allim, Bidayat al-Hidayat, al-Amriti, dan masih banyak lagi kitab-kitab kuning lainnya yang digunakan atau dijadikan sebagai bahan kajian keilmuan bagi para santri. Kajian keilmuan itu sendiri juga beraneka ragam, dari Nahwu, Sharaf, Fiqih, Usul Fiqih, dan kajian kitab klasik lain sebagainya. Hal ini bertujuan selain agar bisa melaksanakan syariat agama dan bagaimana harusnya islam itu dijalankan sesuai dengan tuntunan yang lurus dan benar, setidaknya hal ini bisa dijadikan sebagai mediasi kontrol sosial secara individu maupun universal. Dengan adanya hal itu tentunya akan memberi pencerahan tentang bagaimana agama harus dijalankan dan ditegakkan pada titik-titik kebenaran yang mutlak. Menjalankan syariat secara benar dan tidak sembarangan atau asal. Tidak mencampuradukkan atara kesesatan (bathil) dengan kebenaran (haq), atau sebaliknya. Atau bahkan taklid buta. Tidak melakukan bid’ah dhalalah yang tidak pernah dicontohkan oleh para nabi atau para pendahulu. Tidak hanya ngaruoro, ngawur, dalam menjalankan agama. Islam harus dijalankan secara kaffah, sepenuh-penuhnya menjalankan kaidah, syariat, dengan segala kepasrahan diri secara total pada Sang Khaliq, tentunya sesuai tuntunan al-qur’an dan sunnah.
Sebagai sebuah ijtihad, maka islam harus berpadu antara logika dan juga kemurnian nurani. Tidak bisa dilakukan secara sepotong-sepotong, serampangan, atau bahkan secara sembarangan. Kesemuanya harus dilakukan secara berkesinambungan tanpa harus meninggalkan salah satu diantaranya. Islam hadir dan diturunkan sebagai rahmatan lil-‘alamin, bukan sebagai agama yang terbentuk dari kekejian dan kesesatan. Islam adalah agama cinta dan kasih sayang, bukan agama penindas atau agama yang meluluh lantakkan peradaban. Terlebih lagi, islam hadir sama sekali bukanlah sebagai agama Barbar. Islam juga bukan agama radikal. Dan islam ada bukan sebagai teroris.
Para santri biasanya baru akan bubaran dan melakukan kegiatan masing-masing ketika isya’ telah usai. Entah setelah kegiatan mengaji mereka bercengkrama dengan teman-teman sekamar—bagi mereka para santri pendatang yang mondok, tinggal di pondok. Atau langsung pulang ke rumah—bagi mereka para santri pribumi. Dan atau sekedar menghabiskan waktu mereka dengan duduk-duduk santai di teras masjid. Ada juga yang langsung menuju kamar. Tidur. Atau melakukan aktivitas lainnya sekehendak hati di dalam lingkungan pesantren. Rutinitas semacam ini terasa lazim, terasa akrab, dan seakan mendarah daging bagi kalangan santri atau bagi penduduk kampung Kuning pada umumnya. Kalau pun ba’da isya masih ada yang ngaji, bisa dipastikan bahwa hal itu dilakukan untuk mengulang materi yang tadi telah diajarkan atau disampaikan oleh para ustadz atau pak Kiyai.
Kebanyakan santri adalah pendatang dari kota-kota yang jauh atau perantau. Mereka tak hanya dari Jawa saja melainkan ada juga yang datang dari luar Jawa; seperti, Madura, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, bahkan dari Sabang sampai Merauke, dan masih banyak lagi yang datang dari luar daerah yang ingin ngalap ilmu di pondok pesantren. Tak tanggung-tanggung mereka ngalap ilmu dalam kurun waktu sekian lamanya. Ada yang sampai lima tahun, sepuluh tahun, sembilanbelas tahun, bahkan ada yang sampai berumur baya (tinggal serta beranak-cucu di pesantren), sebuah masa yang tak sedikit tentnya. Barangkali ada yang menganut paham: menuntut ilmu hingga liang lahat.
Kebiasaan lain dari penduduk kampung Kuning adalah menyempatkan diri, paling tidak tiga bulan sekali, untuk mengadakan kumpulan antar warga guna meneropong, membahas, mengevaluasi perkembangan yang sudah berlangsung atau yang terjadi di kampung Kuning, kampung halaman mereka. Kegiatan tersebut selain melibatkan aparatur desa, para tokoh agama, juga melibatkan warga atau penduduk desa. Dan biasanya, kegiatan semacam ini dilakukan diluar kegiatan keagamaan. Untuk kegiatan keagamaan memiliki pembahasan serta waktu yang berbeda pula, dan biasanya untuk urusan ini diserahkan atau dipercayakan pada pihak pesantren.
“Alhamdulillah, hingga sampai saat ini kampung kita dalam keadaan aman,” kata pak Lurah, mengawali pembicaraan.
“Pak Lurah?!” sela seseorang yang duduk di barisan depan, “Selaku ketua RT, saya ingin menyampaikan uneg-uneg yang selama ini saya rasakan,” lanjutnya.
“O, silahkan! Silahkan, pak RT!” sahut pak Lurah, mempersilahkan, dengan ramah.
“Meski tampak aman-aman saja, tapi ada beberapa masalah yang sebenarnya masih terkesan dan cenderung dibiarkan, bahkan terabaikan,” ungkap pak RT.
“Maksudnya, pak RT?!” sanggah pak Lurah sambil mengernyitkan jidat.
“Begini, Pak….” Ia menjeda sejenak, sembari mengatur posisi duduk, yang tak ketinggalan menghisap dan mengepulkan asap rokok dari mulutnya yang keriput kehitaman ke udara. “Jika kita tinjau ulang, sebenarnya di desa kita ini masih banyak hal yang perlu kita tangani secara serius. Memang hal ini dianggap lumrah dan sepele oleh sebagian orang, tapi sebenarnya hal ini jika dibiarkan terus menerus akan menjadi masalah besar. Banyak terjadi di sekitar kita para pemuda, orang tua, bahkan termasuk kalangan anak-anak remaja melakukan perbuatan amoral, madat ing adab lan adat, bahkan kian hari semakin meresahkan dan semakin memprihatinkan,” terangnya kemudian.
“Sebenarnya saya sendiri sudah mengetahui akan hal itu,” pak Lurah memotong, “Tapi harus gimana lagi, lha wong kalau diperingatkan, mereka justru mengabaikan dan makin berani, bahkan terkesan ora nguwongake, tidak menghargai dan tak ada sopan-sopannya. Bahkan semakin hari semakin tak terkendali.”
“Memang pak Lurah. Tapi sebagai aparatur desa tentunya pak Lurah harus bertindak tegas jika ingin memberantas tindak asusila atau penyakit masyarakat di kampung kita ini,” tegasnya dengan nada mantab.
Suasana malam berangsur lengang, namun perbincangan di masjid masih berlangsung dengan hangat, meski sedikit alot. Sebagian kelompok atau barisan tampak diam, anteng, memperhatikan jalannya urug-rembug, meski sesekali berbisik dengan orang di sebelahnya. Namun ada juga yang mencoba berkomentar akan tetapi hanya dengan orang yang ada di sampingnya. Bahkan ada juga yang masih sempat ngerumpi sembari sesekali mengunyah jajanan di hadapannya.
“Memang semuanya butuh kebersamaan diantara kita. Dalam sebuah komunitas, masyarakat majemuk, kita sama sekali tidak boleh hanya berpangku tangan, mengedepankan atau mengutamakan kepentingan pribadi semata, atau justru melimpahkan sebuah permasalahan pada orang lain. Semuanya harus dilakukan secara bersama-sama,” terang pak Lurah. “Sekarang marilah kita tinjau kembali, mengevaluasi, segala apa yang sudah terjadi. Kita jangan hanya mengandalkan, apa lagi menyalahkan serta membebankan semua itu pada satu pihak saja. Marilah kita berbenah diri demi kebaikan, ketentraman, dan juga untuk kesejahteraan kampung kita ini,” lanjutnya, menegaskan. “Selaku Lurah, saya sangat berharap partisipasi dari warga sekalian demi terwujudnya kerukunan bersama antara warga,” himbaunya kemudian.
Tampak beberapa orang manggut-manggut, seolah paham dan mengerti apa yang disampaikan oleh pak Lurah.
Dari barisan warga yang tengah khusyu’ dengan dunia masing-masing tiba-tiba seseorang angkat bicara, “Menurut pak Kyai bagaimana?”
Sontak pandangan mata yang hadir di sana tertuju ke arah sumber suara tersebut. Lelaki yang dimaksud itu adalah pak Kyai. Ia tampak duduk dengan tenang, bergamis panjang, helai jenggotnya hitam bercampur putih. Ia pun menjawab, “Benar sekali apa yang dikatakan oleh pak Lurah tadi. Memang segala sesuatu tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, nafsi-nafsi, melainkan harus bersama-sama. Terlalu berat jika segala sesuatu dikerjakan sendirian. Apalagi masalah ‘penyakit masyarakat’ semacam ini. Sejak dahulu kala yang namanya mo-limo (Main (judi), Madon (main perempuan), Mendem (mabuk-mabukan), Maling (mencuri), Mala’ (membuat onar) itu sudah ada. Bahkan sejak dari jaman nabi pun masalah seperti ini sudah ada. Jadi kita harus bersatu dan memulainya dari keluarga kita sendiri. Ibarat lidi, ia akan memiliki kekuatan dan manfaat lebih jika disatukan dengan yang lainnya, dibandingkan jika ia berdiri sendiri. Ia bisa digunakan sebagai alat membersihkan sampah atau untuk keperluan lainnya,” tuturnya. “Alangkah baiknya jika kita sama-sama nguyub-sinambungan antar warga. Semuanya harus dilakukan secara berjama’ah, kan? Sebab itu akan lebih meringankan beban, dan setidaknya bisa dijadikan antisipasi keamanan,” lanjutnya dengan nada bijak penuh wibawa. Tampak tangan kanannya mencoba membenahi, mengatur posisi sorbannya yang semula luruh dari bahunya.
Perundingan semakin alot rasanya, sedangkan malam sudah semakin larut. Akhirnya segala kesepakatan pelak ditegaskan demi kelancaran dan juga keberlangsungan ketentraman, kesejahteraan, dan kedamaian warga kampung. Memang sudah menjadi kelaziman jika agama akan senantiasa menjadi penengah dalam tiap persoalan dan juga permasalahan yang terjadi pada lingkungan masyarakat yang majemuk. Sebab salah satu dari tugas atau fungsi adanya agama adalah untuk perihal tersebut bagi ummat manusia. Bukankah agama diturunkan ke muka bumi adalah untuk ummat manusia berikut penghuni alam semesta? Hal ini tak lepas dari posisi agama yang menjadi prioritas utama dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itulah peran seorang ulama atau seorang Kyai sangat dibutuhkan sebagai pengarah dan sebagai pembimbing dalam urusan spiritualitas tersebut.
Sementara itu, di pelataran masjid, para santri tampak sibuk dengan rutinitas masing-masaing. Ada yang bercanda, bersenda gurau, ada yang saling menggojloki, mengejek atau meledek antar teman lainnya. Tawa-tawa mereka terasa lepas bersamaan dengan embusan angin malam yang kian dingin akut. Di bagian lain, di beranda masjid, ada beberapa orang yang tengah khusyu’ menghafal ayat-ayat al-qur’an. Ada yang menghafal tasrifan. Ada yang mengeja atau mempelajari ulang pelajaran yang sudah diberikan beberapa jam lalu. Ada pula yang mengisi waktunya dengan nderes, membaca, ayat suci al-qur’an. Ada pula di bagian yang lain tengah asik-masyuk mengolah vokal yakni dengan berqiro’ah secara tartil. Lain lagi dengan beberapa orang di bagian teras dekat padasan, tempat wudhu, mereka tengah berdiskusi ringan mengenai dunia perpolitikan yang kian hari kian santer dan memanas dibicarakan masyarakat. Ada juga yang iseng membicarakan atau berargumen tentang seorang kyai yang mbalelo. Dan ada beberapa santri yang hanya rebahan di beranda masjid menghabiskan sisa waktu sembari membuang lelah, yang biasanya sampai tidur lelap di situ.
Gojlokan di kalangan santri bukanlah hal yang aneh atau tabu; seperti masakan dengan bumbunya. Memang di dalam dunia pesantren hal itu sudah menjadi kewajaran. Suasana inilah yang semakin mempererat hubungan emosional di antara mereka, terlebih mereka datang dari berbagai etnis berbeda, gaya hidup, atau pun kalangan berstatus sosial yang tentu berbeda pula. Dengan jalan seperti itulah, setidaknya, akan lebih mengeratkan kebersamaan satu sama lainnya selama di perantauan.
Dalam prakteknya, seorang santri senior selalu merasa lebih leluasa menggojloki para santri junior. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa mereka adalah ‘santri senior’. Misalnya, salah satu santri senior, sebut saja namanya kang Jalal. Ia seringkali menggojloki si Hardi, salah satu santri junior. Terkadang gojlokan itu memang terkesan keterlaluan, berlebihan, sampai-sampai wajah mereka yang kena gojlokan merah-hitam pucat menahan rasa malu tak terkira.
“Kamu itu orangnya sudah gliseng, berkulit hitam, giginya kuning dan gondrong, dolan ae, main terus kerjanya. Terus kapan pintarnya?” kata kang Jalal dengan nada berkelakar. Di pesantren tersebut kang Jalal memang ditakuti para santri junior, terlebih watak atau pembawaan perawakannya yang keras, garang, dan suka blak-blakan kalau ngomong menjadikan ia makin ditakuti.
“Apa be’na jereya, Har? Be’na senengnga gun ngakan ban tedung ekamar.”
Dengan logat Maduranya, yang kalau diterjemahkan kurang lebih artinya, ”Gimana kamu, Har? Kamu tuh senangnya cuma makan dan tidur di kamar aja.”
“Be’na masola. Kamu tuh sukanya cuma ngerepotin aja.”
Kang Jalal belum berhenti sampai disitu menggojloki Hardi yang masih baringan di lantai masjid. Mendengar itu, Hardi hanya diam seribu bahasa, tak banyak omong. Selain takut, ia juga tak berani bicara dengan sang senior. Katanya: tak sopan.
Demikianlah. Terkadang bila sudah keasyikan ngobrol, mereka tak kenal waktu, bahkan sampai subuh pun mereka akan betah hanya untuk jaduman, ngobrol, sana-sini. Suasana pun kembali cair dengan celotehan-celotehan, berseloroh, yang hal itu tak lepas dari seputar dunia pesantren, kisah tentang pengalaman pribadi masing-masing, dan yang lebih sering dibicarakan adalah soal perempuan atau para santriwati yang letaknya bersebelahan, tetanggaan dengan asrama para santri putra. Meski demikian tetap ada tabir atau tembok penghalang sebagai pemisah antara keduanya. Jika sudah membicarakan masalah tersebut meski berjam-jam mereka akan rela sekedar omong kosong soal perempuan.
“Cak, Sampeyan weroh ora, Putrine pak Kyai, yen turu ngorok,” kata Salman dengan aksen Jawa Timur-nya yang kental dan khas.
“Kamu ngintip ya?” timpal Sohir, santri asal Jawa Barat itu.
“Aku gak sengojo-e, Kang. Soale pas wayah iku aku lagi diutus pak Kyai angkat lemari.” Salman beralibi menghindari tuduhan.
“Ah, kamu memang pintar cari alasan!”
“Sumprit! Aku gak sengojo, Kang!” kilahnya mempertegas.
Demikian itulah sketsa-sketsa dari realitas pesantren, meski tak semuanya sama. Tapi itulah sekelumit aktivitas para santri dan santriwati. Di sisi lain, di dalam dunia atau tradisi pesantren, rasa hormat, patuh, atau tunduk memang sudah menjadi pola-laku yang lahir secara alamiah. Hal demikian terjadi oleh karena tatanan awal di kalangan atau dunia pesantren yang lebih mengedepankan etika moral terhadap orang yang lebih tua atau yang mereka hormati sebagai sosok yang memiliki kharisma, sosok panutan, bahkan sebagai ganti orang tua semasa di rantau. Semuanya harus takdzim, taat, patuh, dan tunduk pada tiap titah sang Kyai sebagai bagian rasa hormat santri. Hal semacam ini bukan berarti terlalu melebihkan atau mendewakan, namun lebih pada pengabdian seorang santri pada guru yang telah banyak memberikan ilmu tanpa pamrih.
Rasa hormat dan takdzim santri lebih ditunjukkan karena ingin ngalap barokah atau mendapat ridho serta keberkahan ilmu dari sang Kyai. Mereka takut kalau ilmu yang mereka peroleh tidak manfaat nantinya, atau takut kualat atas perilaku tak sopan bahkan sikap kurang ajar mereka jika melawan perintah. Bahkan ibaratnya jika mau, mereka rela makan sisa makanan atau minuman dari para Kyai untuk mendapatkan keberkahan dari sana. Hal itu persis seperti apa yang dialami oleh Syaifullah, santri asal Jawa Tengah. Waktu itu ia tengah nderes kitab di teras masjid. Tiba-tiba ia dipanggil pak Kyai untuk mengambilkan perhiasan bu Nyai yang jatuh di kakus. Tanpa rasa ragu ia pun menjeburkan diri ke dalam kakus tersebut. Dengan susah payah ia pun mengorek-ngorek tinja yang baunya sangat busuk minta ampun, meski demikian ia rela. Setelah ia menemukan perhiasan yang dimaksudkan, ia pun segera naik dan membersihkan badan dengan tujuh kali mandi dan dengan tujuh macam sabun sekaligus. Setelah tubuhnya bersih dan tidak lagi berbau tinja, ia pun segera menyerahkan perhiasan tersebut pada pak Kyai. Meski hanya diberi sepiring nasi dan segelas air putih, namun ia kembali ke kamarnya dengan rona wajah berseri-seri. Alhasil, setelah tamat dari pesantren, ia menjadi orang tersohor dan memiliki pengaruh luar biasa di kalangan masyarakatnya.[]
(Dzikir-dzikir Cinta, Anam Khoirul Anam. Diva Press: 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar